game

my turkeyy


pYzam Page Pets
FreeFlashToys Page Pets

Minggu, 28 Februari 2010

kebudayaan nasional

Dalam sejarah Indonesia, nama Ki Hadjar Dewantara tercatat sebagai salah seorang tokoh pergerakan nasional dengan pemikiran-pemikiran antikolonialisme dan antifeodalisme.
Tak hanya itu, pemikiran-pemikiran Ki Hadjar tentang kebudayaan nasional turut mewarnai perdebatan kaum intelektual bumiputera di paruh awal abad ke-20 dan menjadi basis bagi pembentukan rasa kebangsaan Indonesia. Pertanyaan tentang identitas nasional telah dilontarkan Ki Hadjar saat ia menulis sebuah artikel berjudul Als ik eens een Neerlander was (Andai Aku Seorang Belanda) pada tahun 1913.
Dengan tebal halaman sebanyak 392 halaman, buku ini mengelompokkan pemikiran Ki Hadjar ke dalam tema-tema seperti kebudayaan umum, kebudayaan dan pendidikan atau kesenian, kebudayaan dan kewanitaan, kebudayaan dan masyarakat, serta hubungan dan penghargaan kita. Konsep Tri-Kon Di buku kumpulan karya Ki Hadjar ini, ia menguraikan arti dasar kebudayaan sebagai buah budi manusia. Kata kebudayaan sendiri berasal dari kata cultura yang merupakan perbendaharaan bahasa Latin.
Menurut Ki Hadjar, kebudayaan selalu mempunyai sifat nasional, ”karena rakyat yang menimbulkan kebudayaan tersebut ialah semua orang yang hidup di dalam satu lingkungan alam dan satu lingkungan zaman”. Orang-orang itu, meskipun sebenarnya memiliki kebudayaan yang saling berbeda, tetapi mereka saling berhubungan sehingga mau tidak mau akan terjadi pertukaran kebudayaan. Dalam kaitan dengan kebudayaan nasional, Ki Hadjar menuturkan bahwa kebudayaan nasional terbentuk dari puncak-puncak dan sari-sari kebudayaan yang terdapat di seluruh wilayah Indonesia, baik kebudayaan lama maupun baru.
Perkembangan kebudayaan nasional, menurutnya, harus melalui jalan yang disebutnya tri-kon, yaitu memiliki kontinuitas dengan kebudayaan yang telah silam, menjalankan konvergensi dengan jalannya kebudayaan-kebudayaan lain, dan akhirnya bersifat konsentris dalam persatuan dengan kebudayaan dunia walaupun tetap mempertahankan kepribadian sendiri.
Di dalam artikelnya yang berjudul Menudju Masjarakat dan Kebudajaan Baru Indonesia ”Prae-Indonesia, Sutan Takdir menolak gagasan tentang kebudayaan Indonesia yang merupakan kontinuitas dari kebudayaan masa silam. Menurut STA, Indonesia jang ditjita-tjitakan oleh generasi baru bukan sambungan Mataram, bukan sambungan keradjaan Banten, bukan keradjaan Minangkabau atau Bandjarmasin. Kebudajaan Indonesia tiadalah mungkin sambungan kebudajaan Djawa, Melaju, Sunda, atau kebudajaan lainnya (Achdiat K Mihardja, Polemik Kebudajaan, 1954). Berbeda dengan Ki Hadjar yang mengusulkan untuk mengambil puncak-puncak kebudayaan daerah, baik lama ataupun baru, dan bersikap terbuka terhadap kebudayaan asing, STA meyakini bahwa kebudayaan Indonesia baru harus benar-benar bebas dari kebudayaan lama.
Padahal, apabila kita melihat lebih jauh, silang pendapat ini melibatkan tokoh-tokoh yang modernis, mereka menerima ilmu pengetahuan modern dan mengadopsi apa yang mereka pahami sebagai kebudayaan Barat. Mereka juga menentang tradisi feodalisme dan menolak jika kebudayaan Indonesia baru harus sepenuhnya diambil dari kebudayaan feodal ataupun mentah-mentah dari kebudayaan rakyat (Media Kerja Budaya, edisi online).
Tanpa demokrasi, yang terjadi adalah kemunduran dan kematian salah satu kebudayaan, atau penjajahan satu kebudayaan oleh kebudayaan lainnya. Ironisnya, cita-cita Ki Hadjar menciptakan kebudayaan Indonesia yang demokratis itu saat ini harus berhadapan dengan musuh yang dahulu dengan gigih dilawannya, yaitu kolonialisme yang mengambil bentuk baru: imperialisme ekonomi dan budaya. Kekhawatiran Ki Hadjar dahulu justru mendapatkan wujud konkretnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar